AKSI saling lempar argumen masih terus
berlangsung antara pihak Syahrini dengan Blue Eyes. Kedua pihak sama-sama
merasa berada di posisi yang benar.
Apa sebenarnya yang diributkan oleh kedua belah
pihak?
Permasalahan bermula ketika Syahrini membatalkan
penampilannya di Club Blue Eyes, Bali, 27 Januari lalu.
Ketika itu, Syahrini harus mendampingi
ayahandanya yang terbaring koma di RS MMC, Kuningan, Jakarta.
Ayah Syahrini akhirnya wafat sehari setelah itu,
tanggal 28 Janurari sekitar pukul tiga dini hari.
Atas pembatalan tersebut, pihak Blue Eyes
meminta Syahrini untuk mengembalikan honor manggung yang telah dibayarkan
sebelumnya, yakni 60 juta rupiah.
Namun pihak Syahrini
menganggap pengembalian uang tersebut tidak wajib, karena pembatalan yang
terjadi disebabkan karena faktor force majeur, yakni keadaan yang
tidak diduga atau tidak direncanakan.
Pihak Syahrini kemudian menawarkan penggantian
jadwal manggung.
Namun hal itu tidak
diterima oleh pihak Blue Eyes. Mereka bersikukuh kerabat atau keluarga yang meninggal
tidak termasuk dalam force majeur.
Ya, di sinilah letak
permasalahan yang sebenarnya. Kedua pihak punya kaca mata yang berbeda dalam
mengartikan istilah force majeur.
Sebenarnya, hal ini
sudah tertuang dalam klausul kontrak yang ditandatangani pihak Syahrini dan
Blue Eyes. Pada pasal 5 ayat 3, tertera kalimat:
"Apabila pihak Kedua (Blue
Eyes) maupun Syahrini membatalkan acara dikarenakan adanya alasan force majeur
yang ditentukan pemerintah, seperti keadaan perang, huru hara, atau bencana
alam, maka pihak Kedua atau Syahrini akan menyelesaikan kerugian yang timbul
secara kekeluargaan untuk memperoleh penyelesaian terbaik."
Keadaan perang, huru-hara, atau bencana alam.
Tiga hal itu digaris bawahi oleh pihak Blue Eyes sebagai "senjata"
untuk menangkis argumen pihak Syahrini.
"Jelas, itu (force majeur) sifatnya umum
dan bukan untuk urusan yang sifatnya pribadi," tegas Henry Pangaribuan,
kuasa hukum Blue Eyes saat menggelar jumpa pers di kawasan Radio Dalam, Jakarta
Selatan, Jumat (1/4).
Lantas, kaca mata siapa yang lebih benar?
Perdebatan ini akan segera terjawab dalam proses persidangan yang rencana
dimulai Rabu, 6 April mendatang.
Sumber :
TUGAS
MENGANALISIS
KASUS
SYAHRINI
TERMASUK
WANPRESTASI APA FORCE MAJEURE ?
NAMA :
ANGESTI PUPUT W.S
NIM :
3223113009
PRODI :
PERBANKAN SYARIAH
KELAS : 5A
JURUSAN : SYARIAH
Dari wacana
mengenai kasus Syahrini diatas saya dapat menyimpulkan bahwa kasus yang sedang
dihadapi artis cantik Syahrini bisa dianggap sebagai wanprestasi karena
keadaan tidak terduga ( force majeure ) tetapi juga bisa dianggap
sebagai wanprestasi saja.
Pertama, Syahrini
dianggap melakukan wanprestasi karena dia tidak memenuhi kontrak perjanjian
dengan Club Blue Eyes yang akan diselenggarakan
di Bali, 27 Januari lalu.
Ini memperkuat alasan bahwa Syahrini melakukan wanprestasi, dimana
kita telah mengetahui kriteria wanprestasi antara lain yang pertama
terlambat menunaikan, kedua melakukan sesuatu, dan ketiga tidak
melakukan sesuatu, pada poin ketiga inilah yang termasuk dilakukan syahrini.
Kedua, Syahrini dianggap
melakukan wanprestasi karena force majeure yakni keadaan yang tidak diduga atau
tidak direncanakan oleh pihak Syahrini karena keadaan ayahnya yang tidak
mungkin dia tinggalkan karena Syahrini merasa bahwa ayahnya akan meninggal
dunia dan sebagai seorang anak Syahrini memilih untuk malanggar kontrak yang
telah dia buat dengan Club Blue Eyes dari pada dia dianggap sebagai anak
durhaka oleh keluarganya, karena lebih memilih tetap manggung daripada menemani
ayahnya yang sedang sakit keras.
Tetapi disini saya juga tidak menyalahkan maupun membenarkan
pihak Syahrini maupun pihak Club Blue Eyes yang telah meminta Syahrini untuk
mengembalikan honor manggung yang telah dibayarkan sebelumnya yakni 60 juta
rupiah, atas pembatal kontrak.
Pihak Club Blue Eyes berhak menerima ganti rugi atas
pembatalan kontrak yang dilakukan oleh Syahrini, karena telah melakukan
wanprestasi dimana Syahrini tidak melakukan sesuatu dan akibat hukum dari
wanprestasi itu bisa berupa ganti rugi atau dituntut menunaikan (pihak Syahrini menawarkan penggantian jadwal manggung, namun
hal itu tidak diterima oleh pihak Blue Eyes) jadi mau tidak mau sebenarnya Syahrini
harus membayar ganti rugi kepada Club Blue Eyes.
Sedangkan alasan Syahrini tetap bersikukuh tidak mau membayar
ganti rugi atas pembatal kontrak yang ia lakukan karena dirinya menggangap
bahwa dia tidak melakukan wanprestasi melainkan force majeure.
Kalau dilihat dari segi hukum
Syahrini dapat dikatakan tidak melakukan force majeure melainkan wanprestasi
karena hal ini sudah tertuang
dalam klausul kontrak yang ditandatangani pihak Syahrini dan Blue Eyes. Pada
pasal 5 ayat 3, tertera kalimat:
"Apabila pihak Kedua (Blue Eyes) maupun Syahrini membatalkan
acara dikarenakan adanya alasan force majeur yang ditentukan pemerintah,
seperti keadaan perang, huru hara, atau bencana alam, maka pihak Kedua atau
Syahrini akan menyelesaikan kerugian yang timbul secara kekeluargaan untuk
memperoleh penyelesaian terbaik."
Tetapi Syahrini juga bisa menggangap bahwa
dirinya melakukan force majeure sesuai Pasal 1245 KUH Perdata yang menentukan
sebagai berikut :
Pasal 1245
“Tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam
keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur
terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau
melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya”.
Inilah yang menyebabkan perdebatan antara pihak syahrini
dengan Club Blue Eyes dimana masing-masing pihak memandang force majeure dengan
istilah atau arti berbeda.