Selasa, 08 Oktober 2013

Analisis Kasus Syahrini : Apakah termasuk wanprestasi atau force majeur ?

AKSI saling lempar argumen masih terus berlangsung antara pihak Syahrini dengan Blue Eyes. Kedua pihak sama-sama merasa berada di posisi yang benar.
Apa sebenarnya yang diributkan oleh kedua belah pihak?
Permasalahan bermula ketika Syahrini membatalkan penampilannya di Club Blue Eyes, Bali, 27 Januari lalu.
Ketika itu, Syahrini harus mendampingi ayahandanya yang terbaring koma di RS MMC, Kuningan, Jakarta.
Ayah Syahrini akhirnya wafat sehari setelah itu, tanggal 28 Janurari sekitar pukul tiga dini hari.
Atas pembatalan tersebut, pihak Blue Eyes meminta Syahrini untuk mengembalikan honor manggung yang telah dibayarkan sebelumnya, yakni 60 juta rupiah.
Namun pihak Syahrini menganggap pengembalian uang tersebut tidak wajib, karena pembatalan yang terjadi disebabkan karena faktor force majeur, yakni keadaan yang tidak diduga atau tidak direncanakan.
Pihak Syahrini kemudian menawarkan penggantian jadwal manggung.
Namun hal itu tidak diterima oleh pihak Blue Eyes. Mereka bersikukuh kerabat atau keluarga yang meninggal tidak termasuk dalam force majeur.
Ya, di sinilah letak permasalahan yang sebenarnya. Kedua pihak punya kaca mata yang berbeda dalam mengartikan istilah force majeur.
Sebenarnya, hal ini sudah tertuang dalam klausul kontrak yang ditandatangani pihak Syahrini dan Blue Eyes. Pada pasal 5 ayat 3, tertera kalimat:
"Apabila pihak Kedua (Blue Eyes) maupun Syahrini membatalkan acara dikarenakan adanya alasan force majeur yang ditentukan pemerintah, seperti keadaan perang, huru hara, atau bencana alam, maka pihak Kedua atau Syahrini akan menyelesaikan kerugian yang timbul secara kekeluargaan untuk memperoleh penyelesaian terbaik."
Keadaan perang, huru-hara, atau bencana alam. Tiga hal itu digaris bawahi oleh pihak Blue Eyes sebagai "senjata" untuk menangkis argumen pihak Syahrini.
"Jelas, itu (force majeur) sifatnya umum dan bukan untuk urusan yang sifatnya pribadi," tegas Henry Pangaribuan, kuasa hukum Blue Eyes saat menggelar jumpa pers di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan, Jumat (1/4).
Lantas, kaca mata siapa yang lebih benar? Perdebatan ini akan segera terjawab dalam proses persidangan yang rencana dimulai Rabu, 6 April mendatang.
Sumber :





TUGAS MENGANALISIS
KASUS SYAHRINI
TERMASUK WANPRESTASI APA FORCE MAJEURE ?

NAMA                       :  ANGESTI PUPUT W.S
NIM                            :  3223113009
PRODI                       :  PERBANKAN SYARIAH
KELAS                      :  5A
JURUSAN                 :  SYARIAH

Dari wacana mengenai kasus Syahrini diatas saya dapat menyimpulkan bahwa kasus yang sedang dihadapi artis cantik Syahrini bisa dianggap sebagai wanprestasi karena keadaan tidak terduga ( force majeure ) tetapi juga bisa dianggap sebagai wanprestasi saja.
Pertama, Syahrini dianggap melakukan wanprestasi karena dia tidak memenuhi kontrak perjanjian dengan Club Blue Eyes yang akan diselenggarakan di Bali, 27 Januari lalu.
Ini memperkuat alasan bahwa Syahrini melakukan wanprestasi, dimana kita telah mengetahui kriteria wanprestasi antara lain yang pertama terlambat menunaikan, kedua melakukan sesuatu, dan ketiga tidak melakukan sesuatu, pada poin ketiga inilah yang termasuk dilakukan syahrini.
Kedua, Syahrini dianggap melakukan wanprestasi karena force majeure yakni keadaan yang tidak diduga atau tidak direncanakan oleh pihak Syahrini karena keadaan ayahnya yang tidak mungkin dia tinggalkan karena Syahrini merasa bahwa ayahnya akan meninggal dunia dan sebagai seorang anak Syahrini memilih untuk malanggar kontrak yang telah dia buat dengan Club Blue Eyes dari pada dia dianggap sebagai anak durhaka oleh keluarganya, karena lebih memilih tetap manggung daripada menemani ayahnya yang sedang sakit keras.
Tetapi disini saya juga tidak menyalahkan maupun membenarkan pihak Syahrini maupun pihak Club Blue Eyes yang telah meminta Syahrini untuk mengembalikan honor manggung yang telah dibayarkan sebelumnya yakni 60 juta rupiah, atas pembatal kontrak.
Pihak Club Blue Eyes berhak menerima ganti rugi atas pembatalan kontrak yang dilakukan oleh Syahrini, karena telah melakukan wanprestasi dimana Syahrini tidak melakukan sesuatu dan akibat hukum dari wanprestasi itu bisa berupa ganti rugi atau dituntut menunaikan (pihak Syahrini  menawarkan penggantian jadwal manggung, namun hal itu tidak diterima oleh pihak Blue Eyes) jadi mau tidak mau sebenarnya Syahrini harus membayar ganti rugi kepada Club Blue Eyes.
Sedangkan alasan Syahrini tetap bersikukuh tidak mau membayar ganti rugi atas pembatal kontrak yang ia lakukan karena dirinya menggangap bahwa dia tidak melakukan wanprestasi melainkan force majeure.
Kalau dilihat dari segi hukum Syahrini dapat dikatakan tidak melakukan force majeure melainkan wanprestasi karena  hal ini sudah tertuang dalam klausul kontrak yang ditandatangani pihak Syahrini dan Blue Eyes. Pada pasal 5 ayat 3, tertera kalimat:
"Apabila pihak Kedua (Blue Eyes) maupun Syahrini membatalkan acara dikarenakan adanya alasan force majeur yang ditentukan pemerintah, seperti keadaan perang, huru hara, atau bencana alam, maka pihak Kedua atau Syahrini akan menyelesaikan kerugian yang timbul secara kekeluargaan untuk memperoleh penyelesaian terbaik."
Tetapi Syahrini juga bisa menggangap bahwa dirinya melakukan force majeure sesuai Pasal 1245 KUH Perdata yang menentukan sebagai berikut :
Pasal 1245
“Tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya”.


Inilah yang menyebabkan perdebatan antara pihak syahrini dengan Club Blue Eyes dimana masing-masing pihak memandang force majeure dengan istilah atau arti berbeda.